Oleh : Muhammad Ihsan
REKAM
JEJAK KELAHIRAN AS SAGGAF
Bentuk perhatian ayah-bundanya terlihat dari dukungannya secara moril maupun
materil, Ibundanya
Hj.
Halimatuissya’diytah dengan tulus menemani,
mendampingi As Saggaf menuntut ilmu hingga menemui akhir hayatnya setelah
tiga tahun setengah bermukim di
makkah Al Mukarraomah, bentuk perhatian materil yang diberikan ayahndanya cukup
spektakuler, seperti apa yang dituturkan kembali oleh Bapak H. Abdul Kabir,
MH berdasarklan cerita Neneknya (Inaq Sir’ain atau istri keempat Datuk
Abdul Majid) bahwa “setiap kali dalam satu tahun Datuk Abdul Majid mengirim
uang untuk keperluan hidup As Saggaf
selama menuntut ilmu di Makkah Al Mukarromah tidak kurang dari 50
ringgit, jika dibandingkan dengan nilai uang sekarang setara dengan harga 1
hektar tanah”
Kematian
ibundanya sangat memukul perasaan As Saggaf saat itu. Namun musibah itu bukan
merupakan halangan dan rintangan yang berarti bagi As Sanggaf. As Saggaf
pantang mundur walau setapak kaki, beliau memiliki semangat baja, terus semakin
giat dan tekun dalam studinya. Sehingga As Saggaf mampu meraih prestasi yang
sangat berilian. Selanjutnya di tempat ini (makkah Al Mukarromah) terlihat ketaatan,
kesabaran, keistiqomahan dan ketekunan As Saggaf teruji. Tidak ada satu pun perintah,
nasehat orang tuanya yang terlupakan.
Di
Makkah Al Mukarromah, As Sanggaf benar-benar merealisasikan ajaran sang ayah,
baik dalam menyelami samudra i1mu pengetahuan, maupun sikapnya dalam
menghormati para guru-gurunya. As Saggaf di tempat ini dikenal sangat taat, patuh
dan tawaddu’ terhadap gurunya. Sehingga, As Saggaf pun selalu mengingat dan
merasakan betapa besar dampak ketaatan dan kepatuhan murid terhadap gurunya. Terlukis
pandangannya dalam untaian bait syair nan indah:
Jangan sekali ‘nakku
mengaji
Pada orang yang
akhlaknya keji
Karena ilmunya ilmu
IBLIS
Dunia akherat bahaya
pasti
Kalau anakku ingin
mendapat
Ilmu berguna ilmu
berkah
Ibu bapakmu dan
gurumu ingat
Wajib dihormati
ditaati
Untaian
syair tersebut mendeskripsikan pengalaman As Saggaf sendiri dalam kembaranya
mencari ilmu, beliau senantiasa taat kepada orang tua dan guru-gurunya. Masuk
Akal kemudian As Saggaf dapat mengukir prestasi secara kuantitas keilmuan dan
kualitas keperibadian yang luar biasa karena kerja keras, ketekunan dan ketelitiannya
mencari guru-guru yang shalih keperibadian dan luas bahtera keilmuannya.
Kelahiran orang-orang besar atau tokoh berpengaruh di
dunia selalu memiliki cerita misteri kehidupanya tersendiri, demikian juga
halnya dengan kelahiran As Saggaf yang
menjadi nama kecil Zainuddin Abdul Majid syarat akan makna dan nilai, nama itu
diberikan oleh Ayahandanya karena sebelum menjelang hari-hari kelahirannya, dua
ulama besar masing-masing dari Magribi dan Hadramaut yang bernama Saqqaf
menitipkan pesan kepada ayahandanya, jika lahir seorang anak maka berikan nama
sesuai dengan nama mereka, sejak lahir telah tersirat berbagai kelebihan dan
keistimewaan yang akan terjadi kelak di belakang hari.
Kata Saqqaf سقاف
terambil dari akar kata arab سقف يسقف yang berarti membuat atap atau
mengatapi, sedangkan kata سقف bermaknesiakan menjadi saggaf selanjutnya dalam dialek Sasak (Bahasa
Lombok) menjadi Segep dan Ibundanya pada masa kecil lebih sering
memanggilnya dengan panggilan Gep. Secara pelan tapi pasti, dari seluruh harapan dua ulama besar itu. Assaggaf dewasa
tumbuh dan berkembang sebagai
tempat pencarian perlindungan dan keteduhan, ia menjadi sumber ilmu dan hikmah.
H.
Abdul Madjid yang pada saat itu sebagai tokoh agama di
wilayahnya, memiliki kesibukan yang sangat tinggi, perhatian yang besar
khususnya dengan tugas-tugasnya dalam bidang keagamaan. Hal ini menyebabkan
masyarakat Pancor sangat menghargai dan menyeganinya. Pada masa itu H Abdul
Majid (Guru Mukminah) menjadi tokoh inti yang sekaligus merupakan tempat
masayarakat bertanya dan mendalami dalam
masalah-masalah agama Islam.
As Saggaf mempunyai 6 saudara kandung antara lain: Siti Syarbini, Siti Cilah, Hj. Sa’udah, H.M.
Shabur, TGH. Faisal, dan Hj. Masyitah, terlihat sejak masa kecilnya As Saggaf sangat cerdas, jujur dan
pandai serta mempunyai otak brilian. Hal itu membuat ayah bundanya menaruh perhatian yang khusus terhadapnya dan mencurahkan segala kasih sayangnya. As Saggaf menjadi tumpuan segala harapan ayah bundanya
demi melakoni tugas mulia melanjutkan kepemimpinan ayahnya di belakang hari.
Mengamati kapasitas dan kecerdasan As Saggaf, H. Abdul
Madjid (datuk Abdul Majid)
sebagai ayahandanya
tidak menyia-nyiakan waktu, Semenjak
usia dini beliau menuntun
serta mengajarinya
dengan penuh keseriusan, kesabaran
dan ketabahan.
Ketika As Saggaf mulai tumbuh
dan berkembang, kira-kira menginjak
usia enam
tahun sekitar pada
tahun 1919 M, As Saggaf didaftarkan
di Sekolah
Rakyat (SR) selama 4 tahun di Pancor Lombok Timur.
Ayahandanya merasa tidak puas menyekolahkannya di
pendidikan formal (SR), berikutnya As Saggaf diajari agama Islam secara khusus,
karena Ayahdanya adalah tokoh agama yang sangat dihormati dan disegani karena
ilmunya. Didikan sang ayah, dirasa oleh As Saggaf sebagai suatu yang sangat
berpengaruh pada pendidikan selanjutnya ketika belajar di Madrasah Assaulatiyah
Makkah Al Mukarromah.
Selain Ayahnya, As Saggaf juga berguru secara khusus pada
tokoh lokal yang juga berpengaruh pada waktu itu, seperti
TGH. Syarafuddin Pancor, Muhammad Said
Pancor dan
TGH. Abdullah bin Amid Dulaji Kelayu, Lornbok Timur. Ketiga gurunya ini turut pula membentuk
kepribadian dan kemampuan intelektualnya. Mereka termasuk orang yang paling berjasa
membentuk keperibadian As Saggaf
sehingga menjadi terpandang, setelah ayahandanya sendiri. Hal itu yang menyebabkan As Saggaf ketika dewasa
menganggap guru merupakan orang tua kedua yang harus dihormati,
dicintai dan disegani,
sehingga, senantiasa berpesan agar teliti mencari guru dalam belajar, karena guru menjadi
penentu
masa depan. Guru
memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan jiwa,
pemikiran serta karakter muridnya. Seperti tertulis dalam Sya’irnya:
Wahai anakku rajin
berguru
Pilih yang mursyid
menjadi guru
Lagi pula mukhlis,
to’at selalu
Serta amanah, berkah
guru
Terukirnya Syair nan indah ini, dapat dipastikan
terilhami oleh histori kehidupan awalnya, betapa memilih guru dalam belajar
sangat urgen, tidak saja untuk meraih ilmu secara kognitif, psikomotorik dan
afektif melainkan untuk meraih keberkahannya. Sehingga sepanjang usiannya, di
setiap napas hidupnya As Saggaf selalu menekankan pada pentingnya menghormati dan memuliakan guru.
Masa-masa kecil As Saggaf seperti layaknya kebanyakan
anak Pancor seusianya, suka bermain, bergaul dengan kawan-kawannya walau tentu
tak pernah melupakan nasihat ayah bundanya untuk tetap melaksanakan sholat dan
tidak mengabaikannya. Cerita kegemaran masa kecilnya seperti yang dikisahkan kembali
oleh H Fahruddin berdasarkan cerita dari orang tuanya (H. Ain) yang menjadi
teman kecil As Saggaf “Saggaf sering
kali miqat kecial (menangkap burung kecial) dengan saya dan selalu saja saya
mengalami sial, tidak mendapatkan seekor
burungpun, Sementara Saggaf
mendapatkannya”. H Ain kemudian menalaah pengalaman masa kecilnya bersama
Saggaf, lalu menafsirkannya: Saya menjadi mengerti bahwa ternyata burung kecial
itu menjadi isyarat betapa masyarakat
lebih memilihnya menjadi panutan dan pemimpin seperti yang terlihat
bahwa kharismanya tak tertandingi dengan tokoh manapun di tempat ini.
Cerita lain tentang masa kecil Saggaf seperti dikisahkan
juga oleh Papuk (Mastur) “saya dulu setiap bertemu dengannya, saya selalu
diminta menyenggeknya (menggendongnya di atas leher saya) dan dia terlihat sangat
kegirangan” ini juga bisa dimaknakan betapa Saggaf kecil telah menampakkan
misteri kehidupan tersendiri, dan pada masa dewasanya selalu tampil menjadi
terdepan, sebagai pemimpin kharismatik dan sangat berani menegakkan kebenaran.
Sifat belas kasih, penyayang Saggaf juga telah tampak
pada masa kecilnya, seperti yang dikisahkan putri tercintanya Hj. Rauhun
Zainuddin Abdul Majid “ Kerap kali setiap mengendarai becak (seperti andong
di Jawa), dalam perjalanan pulang atau pergi dari rumahnya, jika bertemu
temannya Saggaf senantiasa memintanya naik untuk menemaninya, baru kemudian
melanjutkan perjalanannya” Cerita ini mendeskripsikan bahwa Saggaf dewasa hadir menjadi seorang pemimpin yang
senantiasa mengayomi, melindungi dan menjadi sarana ummat sampai kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menginjak usia 17 tahun yaitu pada tahun 1341 H/1923 atas
perhatian dan keinginan kuat sang ayah, As Saggaf selanjutnya meneruskan pendidikannya
di Madrasah As Saulatiyah Makkah Almukarrornah, untuk memperdalam ilmu
pengetahuan agamanya. As Saggaf berangkat bersama ayah-bundanya. Keikutsertaan
sang ayah bersamanya dengan satu tujuan, memilih sekolah yang sesuai dengan
visi ayahnya sekaligus menuntut ilmu yang dibutuhkan oleh rnasyarakat Sasak
secara khusus.
Bukan sekedar mecari sekolah, malah dalam mencari guru
pun ayahnya sangat selektif memilihkan guru yang terbaik untuknya. Karena
baginya hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan intlektual dan
kepribadiannya. Tujuan ayahnya mencarikan guru terbaik di Makkah Al Muklarromah
tidak lain untuk menentukan Sang Guru yang sesuai dengan faham ayahnya, yaitu
paham ahlus sunnah wal Jamaah.
Nama
As Saggaf selanjutnya diganti oleh ayahandanya setelah menunaikan ibadah Haji
menjadi M. Zainuddin, nama ini di ambil
dari nama Ulama’ besar, maha Guru di Masjidil Haram yang bernama Syekh M.
Zainuddin Serawak, karena terpesona dengan akhlak dan kepribadian yang sangat
menawan hati. Ayahnya berharap nantinya agar As Saggaf memiliki akhlak dan
berkepribadian yang serupa dengan orang yang di tiru namanya “Al ismu yadullu ala al Musamma”.
MENYELAMI
ILMU DAN HIKMAH PADA ULAMA AL-SHOLATIYAH
Gerbang
ilmu Masjidil Haram telah terbuka lebar oleh As Saggaf, dan selanjutnya As Saggaf berhasil melintasi “palung”
ilmu yang sangat dalam. As Saggaf sungguh larut dan tenggelam dalam lautan terdalam
dan samudra ilmu yang sangat luas, dengan membawa mutiara-mutiara yang sangat berharga.
Hadiah pengembaraannya menuntut ilmu dan hikmah menjadi cukup memadai bagi As
Saggaf dalam membangun bangsanya sendiri. Namun As Saggaf selalu haus dengan
ilmu pengetahuan dan selalu merasa kurang dengan ilmu yang dikuasai, tidak mau
ketinggalan dengan sahabat-sahabatnya dari berbagai penjuru dunia, As Saggaf ingin
menunjukkan sekaligus mewariskan tradisi mencari ilmu bagi masyarakatnya yang
tidak tidak boileh berhenti pada satu tempat, tetapi harus menziarahi luasnya
samudera penegatahuan yang tak pernah bertepi.
Selanjutnya
As Saggaf menentukan pilihannya kepada Madrasah Al-Sholatiyah Makkah setelah
sekitar lima (5) tahun khusuk belajar di Masjidil Haram. Madrasah AI-Sholatiyah
pada saat itu dipimpin oleh Syekh Salim Rahmatullah, putra syekh Rahmatullah
pendiri madrasah tersebut. Lembaga pendidikan Islam ini merupakan lembaga
pendidikan Islam pertama ditanah suci Makkah dan dikenal telah banyak
menghasilkan ulama’- ulama’ besar di berbagai penjuru dunia. Hal ini yang
menjadi salah satu pertimbangan yang memotivasi As Saggaf untuk menyelami tradisi keilmuan di madrasah ini.
Di
Madrasah ini prestasi As Saggaf sangat cemerlang. Setiap pelajaran diberikan
oleh gurunya diterima dengan sangat baik. Tak satupun ilmu yang terlupakan. Semuanya diserap dan
disimpan dalam ingatannya. Kecerdasan yang diperlihatkan oleh As Saggaf membuat
para gurunya berdecak kagum, dengan nilai ujian akhir yang sangat istimewa
yaitu rata- rata 10.
Kenangan
seorang ulama besar yang bernama Syekh Zakaria, mantan teman sekelasnya di
Madrasah As Saulatiah “Saya teman
sekelasnya, teman seangkatan dengan Syekh Zainuddin, saya bergaul sangat akrab dengannya
beberapa tahun, saya sangat kagum
kepadanya sampai-sampai jam istirahatpun diisinya dengan menekuni kitab
pelajaran dan bermuzakarah dengan teman-temannya”
Seorang
maha gurunya sendiri Al-Allamah Al Adib Al-Syekh Al-Sayyid Muhammad Amin Al
Qutbi secara khusus memuji kecerdasan otak dan kemuliaan akhlaknya:
Demi Allah, Saya
kagum dengan Zainuddin
Kagum atas
kelebihannya atas orang lain
Pada kebesarannya
yang tinggi
Dan kecerdasannya
yang tiada tertandingi
Jasanya yang
semerbak dimana-mana
Menunjukkan satu-satunya
permata
Yang tersimpan pada
moyangnya
Buah tangannya indah
lagi menawan
Pena bunga-bungaan
Yang tumbuh teratur
dengan gunung.
Prof.
Dr. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki adalah seorang ulama terkemuka di kota suci
Makkah, menegaskan bahwa tak seorang pun ulama dan pencinta ilmu di Tanah Suci
Makkah yang tidak kenal dengan As Saggaf (Zainuddin). Syekh Zainuddin adalah
ulama besar, bukan hanya milik umat Islam Indonesia melainkan umat Islam
dunia”.
Kehadiran
As Saggaf (Zainuddin) di Al-Sholatiyah sendiri tidak hanya mengandung misi
keilmuan, namun telah mengharumkan nama besar bangsanya sendiri, Indonesia, mengharumkan
nama daerah tercintanya, Lombok, sebagai pulau kecil di Indonesia, namun telah berhasil
melahirkan ulama besar dunia. Nama besar yang disandang oleh As Saggaf
(Zainuddin) terbukti dengan beberapa kunjungan silaturrahmi para sehabatnya ke
Pancor Lombok. Hampir semua kawannya dating pada setiap hari peringatan Hari
Ulang Tahun (HULTAH) NWDI untuk menhadiri sekaligus memberikan pujian terhadap
keperibadian, keilmuan dan kebesaran As Saggaf (Zainuddin).
Beberapa
ulama yang memiliki andil besar dalam mengembangkan intelektualitas dan
karakter As Saggaf, khususnya di Makkah al-Mukarramah, Di antara ulama besar
yang telah berjasa mengajar dan mendidiknya, khususnya di Madrasah Al-Sholatiyah adalah: Alimul
Allamah Syaikh Hasan Muhammad Al-Masyasyath. Al-Alimul Allamah al-Faqih Umar
Bajunaid As-Syafi’I, Al-Alimul Allamah Al-Faqih Syaikh M. Said Al-Yaman, Al-Alimul
Al-Mutafannin Sibawwaihi Zamanihi Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Marzuki
Al-Falimbani, Syaikh Abu Bakar Al-Falambani, Syaikh Hasan Jambi Assafii, Syaikh
Abdul Qadir Jailani, Syaikh Mukhtar Betawi, Syaikh Abdullah Al-Bukhari, Syaikh
Umar Hamdan Al-Mihrasi Al-Maliki, Syaikh Abdus Satar Assidqi, Syaikh Abdul
Qadir As-Syibli Al-Hanafi, Syaikh M. Amin Al-Kutbi, Syaikh Muhsin Al-Musawa, Syaikh
Khalifah Al-Maliki, Syaikh jamal Al-Maliki, Syaikh As-Shalih M. Shalih
Al-Kalimantani As-Syafi’I, Syaikh Mukhtar Makhdum Al-Hanafi, Syaikh Salim
Gianjur, Syaikh Ahmad Dahlan Shadaqaoh, Syaikh Salim Rahmatullah Al-Maliki, Syaikh
Abdul Gani Al-Maliki, Syaikh Muh. Arabi At-Tubani Al-jazairi, Syaikh Umar Faruq
Al-Maliki, Syaikh Al-Wa’idh Abdillah Al-Farisi dan Syaikh Malla Musa.
Selain
itu ada terdapat beberapa ulama besar lainnya yang secara khusus telah mendidik
As Saggaf berbagai disiplin ilmu keislaman, mulai dari Al-Quran, Hadist, falak
dan lain-lain. Dalam Ilmu Tajwid, Al-Qur’an dan Qiraat Sab’ah adalah: Syaikh
Jamal Mirdah, Syaikh Umar Arbain, Syaikh Abdul Latif Qori, Syaikh Muh. Ubaid,
Syaikh dan beberapa guru besar Al-Qur’an lainnya. Dalam Ilmu fiqih, Tasawuf,
Tauhid, Usulfiqih, dan Tafsir, As Saggaf belajar kepada: Syaikh Umar Bajunaid
As-Syafi’I, Syaikh Muh. Said Al-Yamani,
Syaikh Mukhtar Betawi, Syaikh Abdul Qadir Al-Mandili, Syaikh Abdul Hamid
Abdur Rabb Al-Yamani, Syaikh Muhsin Al-Musawam dan Syaikh Abdullah Al-Lahaji.
Selanjutnya
dalam Ilmu Arudl (syair bahasa arab) As Saggaf berguru pada: Syaikh Abdul Gani
Al-Qodli dan Syaikh Muh. Amin Al-Qutbi, Dalam kajian Ilmu Falak As Saggaf belajar
pada: Syaikh Salim Cianjur, Syaikh Khalifah Al-Maliki, Ahmad Dahlan sadaqoh
As-Syafi’i. Dalam bidang Ilmu Hadits, Mustholahulhadits, Mustholahul-tafsil,
Ilmu Faraid, Siroh dan berbagai ilmu alat (nahwu saraf) As Saggaf berguru pada:
Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Jamal Al-Maliki, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh
Abdullah Al-Bukhari As-Syafi’I, Syaikh Hasan Muh. Al-Masisyat Al-Maliki, Syaikh
Mukhtar Mahdun Al-Hanafi, Syaikh As-Sayid muhsin Al-Musawa, Syaikh Muh. Amin
Al-kutbi, Syaikh Umar Faruq Al-Maliki dan Syaikh Abdul Qadir As-Salabi Al
Hanafi. Dalam Ilmu Aurod (hizb) As Saggaf belajar pada: Al-Lamah (kyiai) Falak
(Bogor Jawa Barat) dan Syaikh Malia Musa Al-Magribi. Adapun dalam Ilmu Al-khot
(kaligrafi) Arab, As Saggaf berguru pada: Syaikh Abdul Aziz Langkat, Syaikh
Muh. Rais Al-Maliki dan Syaikh Daud
Al-Rumani.
Karena
ketekunan As Saggaf belajar pada guru-guru terbaik saat itu, maka dapat
dibayangkan betapa dalam bahtera ilmu pengetahuan yang telah diselami. As
Saggaf selama masa belajarnya di Kota Suci Makkah al-Mukarramah. Sehingga, tak
mengeherankan jika As Saggaf lahir dan tumbuh menjadi ulama besar yang sangat
berpengaruh di tanah airnya. Terlebih, jika menelaah kembali pergulatan
intelektualnya selama ini di Makkah. Tak ada seorangpun yang meragukan
kapasitas dan kapabilitas intelektualnya.
Guru-guru
besar As Saggaf tersebut, menganut faham ahli sunnah wal jama’ah, dan tak seorangpun diantara guru-guru beliau yang
menganut faham selain itu, seperti mu’tazilah, murji’ah, syi’ah dan lainnya. As
Saggaf senantiasa berpedoman pada pesan dan nasehat nasehat ayahandanya untuk
menuntut ilmu kepada ulama yang bearqidah Ahli Sunnah wal Jamaah. Sehingga, wajar
As Saggaf berpesan untuk berhati-hari memilih mencari guru, sebagaimana yang dimanatkan
ayahandanya kepada dirinya sendiri. Pesan beliau selalu disampaikan di banyak
majlis taklimnya terutama di pulau Lombok dan semua abang NW di seluruh wilayah
Indonesia “Hati-hatilah mencari guru,
memilih guru jangan sembarang pilih, pilihlah guru yang memenuhui syarat, guru
merupakan sumber ilmu, hikmah dan kebenaran serta tuntunan bagi murid untuk
mencapai kebahagiaan dunia maupun akherat. Syarat minimal sebagai seorang guru
adalah berbakti kepada orang tua, taat pada guru, berakhlak mulia dan memiliki
kemampuan”.
Pesan
yang selalu disampaikan berulang-ulang ini kepada seluruh masyarakat Islam,
bukan tidak memiliki dasar philosofis. Dalam kata pengantar yang di tulis As
Saggaf (Zainuddin) untuk Kitab Bugyatul Mustarsidin buah karya Maulana
Syekh Hasan Muhammad Al-Masyasyat antara lain menulis bahwa Nabi Muhammad telah
menasehati umatnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Anas RA
bahwa sesungguhnya ilmu ini (tentang halal dan haram) adalah agama, maka cermatilah
dari siapa kalian mempelajari agama kalian. Barangkali inilah yang dijadikan
landasan oleh beliau termasuk ayahnya sehingga selalu berpesan untuk
berhati-hati dalam mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan. Bahkan ia
sendiri yang merealisasikan pesan berharga tersebut sehingga ia menamatkan sekolahnya dengan prestasi yang
luar biasa dan mengagumkan.
Mendekati masa kedatangannya, kembali dari pengembaraan
ilmu pengetahuan dan hikmah dari tanah suci Makkah untuk selanjutnya berkiprah
di tanah airnya (lombok Indonesia), ada cerita mistis yang sarat akan makna dan
nilai, cerita ini dikisahkan kembali oleh Bapak Haji Abdul Kabir, MH mengutip
cerita yang dikisahkan oleh Neneknya Inaq Sir’ain “Dulu Datuk Abdul Majid
(Ayahndanya Ass Saggaf) memiliki 2 ekor bebek, masing-masing jantan dan betina
yang berwarna hitam, namun uniknya semua anak keturunan berwarna putih hingga
ratusan jumlahnya, tapi secara tiba-tiba tiga hari sebelum kedatangan As Saggaf
semua bebek itu terbang (moksa) mengarah ke gunung Rinjani
dan hilang tidak pernah kembali” kemudian kisah ini ditafsirkan bahwa
kedatangan Putra Rinjani alias As Saggaf laksana pertanda sirnanya kegelapan,
kebodohan dan kekufuran di masyarakat Lombok kemudian tergantikan dengan
kebaikan, cahaya dan kebenaran.
Demikianlah riwayat hidup As Saggaf seorang keturunan orang terpandang di pulau Lombok (baca silsilah keturunan beliau hingga Datuk Kowar). Konon, dari keturunannya ada tetesan “darah biru” Raja-Raja
Sulawesi dan Raja Selaparang, sebuah kerajaan Islam di Lombok yang memiliki
semangat mujahid membela tanah air, bangsa dan agama. Para pejuang dan pahlawan
Islam di Pulau Lombok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar