SELAMAT DATANG DI BLOG FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) HAMZANWADI PANCOR

Selasa, 04 Maret 2014

LOKASI PERKULIAHAN PRODI BKI & KPI


PENEBARAN MATA KULIAH
PRODI BIMBINGAN & KONSELING ISLAM (BKI )
FAKULTAS DAKWAH IAI HAMZANWADI PANCOR
SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2013 / 2014


Pancor, 28 Rab. Akhir 1435 H / 28 Februari    2014 M
Ketua Prodi BKI,

ttd

Mastur, MA
NIS : 041 9601 0120

Mengetahui,
 Dekan Fakultas Dakwah,


ttd

Muhammad Ihsan, S.Ag., MA
NIS: 041 9601 038

Senin, 03 Maret 2014

ULAMA Pewaris Para Nabi

Agama adalah suatu yang sakral dalam kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran wahyu dari sang Pencipta. Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang penyelamat dari berbagai malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka bumi tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan perusak agama.

Islam adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan yang tak kenal belas kasih.

Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
  •  Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
  •  Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
  • Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan perselisihannya.
  • Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
  • Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya), mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
  • Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
  • Wara’.
  • Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
  • Jujur.
  • Terpercaya.
  • Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Apabila seseorang telah berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh menjadi imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama dan fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam madzhab dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal 306-307, cetakan Dar Rayah)

Para ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
Keberadaan ulama pewaris para nabi di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.

Al-Hasan Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata: “Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)

SAHAM ULAMA PEWARIS NABI UNTUK ISLAM

Begitu pentingnya peran ulama pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi), adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti (karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4, sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.
______________________________________
1.     Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud(3641.3642), At-Turmudzi(2682), Ahmad(5/196), Ibnu Majah(223), Ad-Darimi(1/98), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ulum wal Hikam 1/39, Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Tarikhnya (1/398). Hadits ini hasan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari (1/160) menukil kepastian penghasanannya dari Hamzah Al-Kinani. Lihat penjelasan ini dalam buku Al-ilmu fadluhu wa Syarafuhu karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid hal.57. cetakan Majmu’at Tuhafin Nafais Ad-Dauliyah, tahun 1416H(1996M)
2.     Musnad: Buku-buku hadits yang dikarang dengan bersandar kepada nama-nama shahabat di mana pengarang mengumpulkan hadits-hadits setiap shahabat dalam batasan tertentu.(Ushulut Takhrij, Mahmud Thanan, hal.40. cetakan Maktabatul Ma’arif, Riyadl)
3.     Majma’: Buku-buku hadits yang dikarang dengan mengumpulkan hadits-hadits dari beberapa karya tulis lalu disusun menurut susunan beberapa karya tulis yang dikumpulkan padanya.(Ushulut Takhrij, hal.103)
4.     Mushanaf: Buku-buku hadits yang disusun menurut bab-bab fiqh. Buku-buku hadits jenis ini bermuatan hadits-hadits Nabi, ucapan-ucapan shahabat, fatwa-fatwa tabi’in dan terkadang fatwa-fatwa at-tabi’ut tabi’in.(Ushulut Takhrij, hal.118)
5.     Sunan: Buku-buku hadits yang disusun menurut bab-bab fiqh dan hanya mencakup hadits-hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi(hadits marfu’).(Ushulut Takhrij, hal.115)
6.     Muwaththa’: Buku-buku hadits yang dikarang menurut bab-bab fiqh. Buku hadits jenis ini berisi hadits-hadits marfu’(hadits-hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi), hadits mauquf (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai kepada shahabat dan tidak sampai kepada Nabi), dan hadits maqthu’ (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai pada tabi’in atau orang yang di bawahnya). Gaya penyusunan kitab-kitab muwatha’ sangat mirip dengan gaya penyusunan kitab-kitab mushanaf. (Ushulut Takhrij hal.119)
7.     Az-Zawaid: Buku-buku hadits yang mengumpulkan tambahan yang termaktub pada sebagian kitab hadits terhadap hadits-hadits yang tertera didalam kitab-kitab hadits yang lainnya. (Ushulut Takhrij hal.104)
8.     Mu’jam: Buku-buku hadits yang memuat hadits-hadits menurut urutan shahabat, para syaikh, negeri-negeri atau yang selainnya. Mayoritas buku-buku hadits jenis ini menyusun urutan nama-nama yang ada padanya menurut urutan huruf-huruf mu’jam.(Ushulut Takhrij hal.45)
_____________________________________
Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan dan tadlis9. Mereka membedakan antara hadits-hadits shahih dari yang lemah. Oleh sebab itu mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang mempermudah proses pembedaan antara hadits yang bisa diterima dari hadits yang harus ditolak.
Disamping itu mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11, mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan sesudahnya. Demikian seterusnya.

Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul bid’ah dan  yang sejenisnya. Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.

Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan penafsiran yang menggunakan rasio.

Kemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.

Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”

Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
________________________________ 
9. Tadlis: adalah menyembunyikan yang ada pada sanad hadits dan menampakkan baik pada dhahirnya (Taisir Musthalahil Hadits karya Mahmud Thanan, hal.79, cetakan Maktabatul Ma’arif)

10. Karena kadang-kadang satu perawi hadits diterima riwayatnya kalau ia meriwayatkan dari penduduk Syam. Tetapi ditolak kalau menerima dari penduduk Iran.
11. Ini yang disitlahkan dengan ikhtilat dan mukhtalat dalam Musthalahul Hadits, yaitu satu perawi yang hapalannya berubah. Awalnya dia pengahapal yang baik, kemudian pikun misalnya. Atau seorang perawi yang asalnya dia meriwayatkan dari buku catatannya, kemudian hilang catatannya.
_________________________________

Dari masa ke masa para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah:

Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani, Yahya bin said, Al-Qahthan, Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah, Al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar, Al Khatib Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta anak-anak dan cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib, Muhammad Hamid Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam, dan seterusnya.

Kemudian ulama masa kini yang berjalan di atas manhaj ulama terdahulu seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan, Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat ini).Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup dan berdiri sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang sudah meninggal. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti langkah mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus Suyuf hal. 78-79) 

CIRI-CIRI DAN SIFAT ULAMA PEWARIS NABI

Didunia ini ulama dibagi menjadi 2 bagian:
1. Ulama su’ (ulama yang jahat)
2. Ulama pewaris Nabi

Sifat Ulama Su’ (Ulama Yang Jahat)
Ulama su’ memiliki sifat cinta yang berlebihan terhadap kesenangan dunia. Ibnu Qudamah menjelaskan tentang mereka dengan mengucapkan: “Mereka adalah orang-orang yang bertujuan menggunakan ilmu agama untuk bersenang-senang dengan dunia dan mencapai kedudukan yang tinggi disisi pendukungnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dari abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: “Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari wajah Allah, (kemudian) dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkansebuah tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang mempelajari  ilmu agama untuk membanggakan diri terhadap para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau mengalihkan perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian Salaf menandaskan: “Manusia yang paling menyesal disaat meninggal dunia adalah orang alim yang menyia-nyiakan ilmunya.”

Sifat Ulama Pewaris Nabi
Mereka mengetahui bahwa dunia itu hina dan akhirat itu mulia. Keduanya seperti dua madu (dibawah seorang suami, pent.). Oleh kerena itu mereka lebih mengutamakan akhirat. Hal ini mereka realisasikan dalam bentuk perbuatan yang tidak pernah menyelisihi ucapan mereka. Mereka cenderung mempelajari ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhkan ddiri dari ilmu yang sedikit manfaatnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Syaqiq Al-balkhi rahimahullah bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim: “Engkau telah bergaul denganku beberapa lama, lalu apa yang engkau pelajari (dariku)?’
Hatim menjawab: (aku telah mempelajari) 8 perkara, diantaranya yang pertama:
Aku melihat kepada para mahluk, maka aku dapati setiap orang memiliki kekasih. Namun tatkala ia memasuki kuburannya ia berpisah dari kekasihnya. Disaat itu aku menjadikan kebaikan-kebaikanku sebagai kekasihku agar kekasihku tetap bersamaku di dalam kubur…dst.
Kemudian termasuk sifat ulama akhirat:
  • Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau menjawab:’(tempat-tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
  •   Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya).
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: “Aku pernah mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.”
  •   Ulama akhirat mayoritas pembahasan mereka adalah ilmu yang berkaitan dengan amal dan perkara-perkara yang dapat merusakannya, mengotori hati dan membangkitkan was-was. Hal ini disebabkan karena membentuk amalan-amalan sangat mudah sedangkan membersihkan amat sulit. Kaidah dasarnya adalah: “Menjaga diri dari kejelekan tidak akan bisa terjadi hingga ia mengetahui tentang kejelekan.”
  •    Ulama akhirat selalu membahas atau mencari rahasia amalan-amalan yang di syariatkan dan memperhatikan hikmah-hikmahnya. Jika mereka tidak mampu menyibak tabir rahasianya, mereka tetap bersikap pasrah dan menerima syariat Allah.
  •   Termasuk sifat Ulama Akhirat adalah mengikuti para shahabat dan orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in selanjutnya mereka menjaga diri dari setiap perkara baru dalam agama(bid’ah).
(disadur dari Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 23-26, Maktabah Dar bayan Muassah ‘Ulumul Qur’an)

PUJIAN ALLAH TERHADAP ULAMA
            Setelah kita mengetahui peranan penting para ulama dalam melanggengkan keberlangsungan dakwah Islam, rasanya sangatlah tepat Allah memuji mereka dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (diantara kamu).”(An-Nisa:83)
            Imam Al-Hasan Al-Basri dan Al-Qatadah menafsirkan:”Ulil amri dalam ayat ini adalah ahlul ilmi dan fiqh.”(Tafsir Thabari jilid 3 juz 5 hal.177 cet. Dar.Kutub Ilmiyyah)
            Allah juga berfirman:
“Allah memberikan kesaksian bahwasanya tidak ada ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga memberikan kesaksian demikian). Tidak ada ilah melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran:18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “…ini kedudukan yang mengandung keistimewaan agung bagi para ulama….”(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal.360, cet.Dar.Ma’rifah)
Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah menggandengkan antara persaksian orang-orang berilmu dengan persaksian Allah sendiri dan malaikat-Nya. Hal ini menunjukan keutamaan yang agung bagi para ulama.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Katakan: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar:9)
            Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat ini dengan menyatakan: “Orang yang berilmu adalah orang yang bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak mengamalkannya, maka ia bukan seorang yang berilmu…..”(Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15 hal. 156, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
            Tentunya pertanyaan Allah disini adalah pertanyaan “pengingkaran”. Yang jelas jawabannya adalah: “Tidak sama.” Maka dari pemahaman ini ayat diatas menunjukkan keutamaan ulama dari yang bukan ulama.
            Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qasami mempertegaskan hal ini. Beliau menyatakan:”Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah memuliakan para ulama! (Allah menjelaskan) bahwa orang yang tidak berilmu tidak sama kedudukannya dengan orang yang berilmu.”(Sallus Suyuf hal.63)
            Allah berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…..”(Al-Mujadalah: 11)
          Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas dengan menyatakan:”Maksud”(“Allah meninggikan mereka”) adalah dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia. Maka Allah mengangkat derajat orang yang beriman diatas orang yang beriman, dan mengangkat derajat orang yang berilmu diatas derajat orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud berkata: “Dalam ayat ini Allah memuji para ulama.”Makna ayat ini adalah Allah mengangkat (derajat) orang yang beriman dan berilmu diatas orang yang beriman namun tidak berilmu beberapa derajat dalam agama mereka jika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Allah…”(Tafsir Qurthubi jilid 9 juz hal. 194, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
            Demikianlah beberapa ayat beserta tafsirannya yang mengandung pujian terhadap para ulama. Tentunya banyak ayat lain yang senada dengan ayat-ayat diatas. Kami membawakan sebagian saja unttuk meringkas pembahasan kita ini. Keterangan diatas sekali lagi menunjukan kepada kita bahwa para ulama adalah orang-orang yang mulia disisi Allah sehingga menjadi sebab turunnya rahmat di alam ini. Oleh karena itu semua muslimin memiliki kewajiban memuliakan para ulama pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Barang siapa yang ingin menanam saham dalam menghancurkan dan merusak Islam, tentu ia akan menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
            Cinta pada para ulama adalah salah satu tanda bagi seseorang bahwa dia Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni mengatakan: “salah satu tanda dari Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah, para ulama sunnah dan para wali Sunnah. Disamping itu mereka benci kepada para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka dan menunjukan para pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghiasi dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para ulama sunah sebagai sebuah keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf Ash-Habul Hadits karya Abu Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba Al-Atsariyah)
            Adapun membenci para ulama merupakan salah satu tanda bagi seorang bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah. Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni berkata:”Tanda-tanda Ahlul Bid’ah sangat jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda mereka yang paling menonjol dan nampak jelas adalah permusuhan mereka yang keras, penghinaan dan pelecehan terhadap ulama pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari para ulama dengan sebutan “orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang suka menyerupakan Allah dengan makhluk –Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
            Inilah beberapa keterangan seputar pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin dalam mengenali para ulama yang berada di tengah-tengah mereka.
            Ya Allah! Jadikanlah kami para hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai amal yang berbuah hasil ridla di sisi-Mu.Amin,ya Rabbul ‘alamin.
∞∞ ∞∞ ∞∞
Maraji’ (Daftar Pustaka):
1.   Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah, Abul qasim Al-Ashbahani, tahqiq dan dirasah Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhali, cetakan dar Rayah.S
2.   Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cetakan Maktabah Dar Bayan.
3.   Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, Dar Ibnu Atsir.
4.   Minhajul Qasidhim, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit Maktabah Dar Bayan & Muassah “Ulumul Qur’an.
5.   Tafsir Thabari jilid 3 juz 5, Imam Thabari, penerbit Dar Kutub Ilmiyyah.
6.   Tafsir Ibnu Katsir jilid1, Ibnu Katsir, penerbit Dar Ma’rifah.
7.   Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15, Imam Al-Qurthubi, penerbit Dar kutub Ilmiyyah.
Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman As-Shabuni, cetakan Maktabah Ghuraba Al-atsariyah.

SEJARAH SINGKAT IMAM BUKHARI



Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari

Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.

Keluarga dan Guru Imam Bukhari

Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti "al-Mubarak" dan "al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Kejeniusan Imam Bukhari

Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar-balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.

Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.


Karya-karya Imam Bukhari

Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih."

Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.

Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."

Penelitian Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."

Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits

Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.

Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".

Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.

Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Terjadinya Fitnah

Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".

Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.

Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."

Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.


Sumber:
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah


, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam_menulis_kitab_hadits
  • http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=173
  • http://www.almuhajir.net/article.php?fn=seribukhari1
http://www.indomedia.com/bpost/012000/28/opini/opini3.htm
JADWAL PERKULIAHAN 
SEMESTER GENAP T.A. 2013/2014

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI PANCOR
FAKULTAS DAKWAH
PRODI BIMBINGAN DAM KONSELING ISLAM (BKI)
Izin Penyelenggaraan Program Studi Strata Satu (S.1) :
SK Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor : 447 Tahun 2013 Tanggal 28 Februari 2013  
Ketua Program Studi,
Bimbingan & Konseling Islam (BKI),

ttd

M a s t u r, M A.
NIS. 041 9601 120

Mengetahui,
Dekan Fakultas Dakwah,

ttd

Muhammad Ihsan, MA.
NIS. 041 9601 038

main wrapper